Friday, December 20, 2013

Musim gugur tahun ini

Lagi-lagi saya tidak bisa rutin menulis di blog ini. Ternyata jadi mahasiswa doktor itu sangat menguras tenaga dan pikiran, sampai-sampai untuk mengupdate blog ini ini pun tidak sempat. Kalau ada waktu luang, saya lebih memilih untuk bermalasan di apato. Kadang saya dan hubby juga memasak. Dan ternyata memasak makanan favorit, apalagi memasak berdua lebih bisa melepaskan stress daripada menulis blog.

Saat weekend kita berdua masih menyempatkan diri jalan-jalan menikmati kota Tokyo. Terutama saat musim gugur, Tokyo sedang cantik-cantiknya dengan warna daun ginko yang menguning, dan daun momiji yang merah menyala.

Tahun ini kita menikmati pemandangan musim gugur dengan menyusuri Tokyo menggunakan sepeda dari satu taman ke taman lainnya. Sebenarnya tidak harus ke taman, pemandangan sepanjang jalan pun sudah sangat cantik. Banyak ruas jalan di Tokyo yang ditanami pohon ginko, yang daunnya dijadikan lambang kota Tokyo.

Pohon ginko yang menguning banyak terlihat di pinggir jalan

Ada dua taman terfavorit yang kita kunjungi saat musim gugur tahun ini. Yang pertama: Kitanomaru koen. Lokasinya di sebelah utara imperial palace. Dari apato, saya hanya perlu menggowes sekitar 20 menit. Taman ini punya satu lokasi yang penuh dengan pohon momiji. Jadi, saat musim gugur, satu bagian taman itu merah menyala. Enaknya di sini orang tidak begitu ramai. Masuknya juga gratis. Komplit deh, makanya jadi taman terfavorit 2013.


Momiji di Kitanomaru Koen


Taman kedua, masih gratis juga masuknya, adalah Yoyogi koen. Lokasinya dekat dengan Harajuku. Sejak pertama ke Tokyo saya sudah pernah ke sini, yang tujuannya ke Jinja Meiji Jingu yang termasuk Jinja (kuil agama Shinto) terbesar di Tokyo. Tapi baru tahun ini saya masuk ke bagian lain dari taman, yang banyak sekali ditanami pohon momiji dan ginko, dan membuat taman ini sangat cantik di musim gugur. Yoyogi koen lebih ramai dan luas. Sering dijadikan tempat ngumpul dan piknik oleh banyak orang. Yang nongkrong sambil main musik juga banyak. Kalau dari apato saya lumayan jauh, jaraknya sekitar 8 km, jadi kita harus menggowes ke sana sekitar 1 jam.

Yoyogi Koen

 Saya juga sempat ke Nikko bersama teman. Tujuannya ingin melihat pemandangan perbukitan yang berwarna kuning merah di sekitar danau Chuzenji, salah satu spot musim gugur yang terkenal cantik di Nikko. Bukannya bisa menikmati pemandangan, kita malah terjebak macet 4 jam di dalam bus yang menghubungkan stasiun Nikko dan danau Chuzenji. Masih untung kita sempat naik ropeway dan melihat pemandangan Nikko dari atas bukit. Setelah itu, kami buru-buru pulang untuk mengejar kereta ekspres terakhir, sampai memutuskan jalan kaki karena bus yang ditunggu masih terjebak macet. Dan ternyata kereta express sudah full booked. Terpaksa harus menerima nasib naik kereta lokal kembali ke Tokyo. Yah sudahlah, memang beginilah kalau sedang puncak musim gugur. Apalagi saat itu sedang long weekend juga.

Ropeway di Chuzenji Lake, Nikko

Sebenarnya tahun ini saya sendiri ingin ke Kyoto juga, meihat cantiknya musim gugur di sana. Tetapi karena pengalaman di Nikko kemarin, saya sudah kapok. Kapok untuk pergi ke tempat yang sudah terkenal bagus, karena semua orang pasti ingin kesana pada saat musimnya.

Banyak yang bilang kalau orang Jepang terlalu berlebihan dalam merayakan setiap musim. Contohnya ya musim gugur ini. Semua orang ingin liat momiji. Pas musim semi, semuanya ingin hanami di bawah pohon sakura. Sedangkan kalau musim panas, orang berbondong ingin menonton pertunjukan kembang api.

Atau, bisa jadi juga karena penduduk Jepang yang sangat padat, terutama di Tokyo. Jadi setiap ada event, sepertinya semua penduduk kota tumpah ruah di sana. Padahal sebenarnya nggak juga. Tapi, hanya dengan sepersekian dari penduduk kota yang datang, sudah membuat tempat acara itu penuh sesak.

Tapi memang ya, setiap musim di Jepang ini memang cantik, dengan kekhasannya masing-masing. Sekarang ini musim gugur sudah mau habis. Pohon-pohon yang tadinya warna warni sudah mulai gundul Udara makin  dingin, dan saya jadi makin malas kemana-mana.

Selamat datang musim dingin. Sepertinya sudah saatnya untuk merencanakan ski trip ke Nagano J



Wednesday, August 21, 2013

Jalan-jalan musim panas ke Hokkaido


Ini blog sudah berbulan-bulan terbengkalai. Postingan terakhir tentang trip ke Nagano di musim dingin. Dan sekarang sudah musim panas aja.

Setelah dari Nagano sebenarnya saya dan hubby sempat jalan-jalan ke beberapa tempat selama musim semi. Terutama untuk melihat bunga sakura. Tapi ya begitulah, nggak sempat ditulisin. Sok sibuk :P

Musim panas ini saya dapat jatah liburan yang lumayan lama. Kesempatan ini kami gunakan untuk merencanakan liburan selama seminggu ke tempat yang agak jauh, yaitu ke Hokkaido, tempat liburan favorit saya di Jepang.

Karena bersamaan dengan liburan Obon, saatnya orang Jepang mudik ke kampung halaman, perjalanan ini jadi agak ribet persiapannya. Tiket kereta banyak yg sudah sold out. Hotel juga penuh. Untung hotel untuk empat hari pertama sudah saya cicil pesan via booking.com (sejauh ini jadi website favorit untuk pemesanan hotel). Sedangkan 3 hari berikutnya baru diputuskan beberapa hari sebelum berangkat. Ya terima nasib selama 2 malam menginap di pension sederhana yang harganya sudah mahal. Sedangkan untuk malam terakhir kami berdua menginap di camping ground, pengalaman yang seru banget. Detailnya akan saya ceritakan di postingan terpisah.

Secara umum perjalanan kami dari Tokyo, saya dan hubby berangkat ke Hokkaido menggunakan shinkansen (bullet train) menuju Shin-Aomori. Lalu menyeberang ke Hokkaido dengan kereta Super Hakucho yang melewati terowongan bawah laut Seikan Tunnel menuju Hakodate. Menginap semalam di Hakodate, trus lanjut ke Otaru, berikutnya ke Sapporo, Biei, dan terakhir Furano.

Untuk transportasi selama di Hokkaido kita berdua menggunakan kereta, yang jadwalnya sangat jarang dibandingkan dengan jadwal kereta di Tokyo. Sempat berencana menyewa mobil supaya perjalanan lebih nyaman dan fleksibel. Tapi gara2 hubby gagal ujian SIM seminggu sebelum berangkat. Jadi terpaksa deh pakai kereta.

Kereta lokal di Ikutora

Tapi sepertinya gagal ujian  SIM ini jadi berkah juga, karena kita jadi punya pengalaman menikmati bermacam kereta di Hokkaido. Mulai dari super express yang nyaman mirip shinkansen, sampai kereta lokal yang gerbongnya cuma satu, dan masinis kereta sekalian jadi petugas tiket. Stasiun kereta juga nggak semuanya ada petugasnya. Dan lokasinya pun ada ditengah persawahan.

Dari semua tempat yang kita kunjungi di Hokkaido kemaren, Biei dan Furano jadi tempat favorit saya. Otaru juga bagus banget sebagai kota pelabuhan dengan kanalnya yang cantik. Di Sapporo lebih untuk istirahat dan makan, karena hotelnya lebih murah di banding tempat lain di Hokkaido. Sedangkan di Biei kita keliling menggunakan sepeda sewaan menikmati pemandangan alam yg cantiknya kebangetan seperti di lukisan. Lalu yang terakhir di Furano, tepatnya di Minami Furano (Furano Selatan) saya dan hubby sempat mencoba rafting di sungai yang super jernih, lalu leyeh-leyeh sambil menikmati pemandangan di camping ground di pinggir danau Kanayama.

Biei and Furano: the most beautiful villages in Japan

 Perjalanan kembali ke Tokyo sempat jadi masalah karena bersamaan dengan arus balik liburan Obon. Jangankan kereta, kapal pun semua tiketnya sudah penuh. Dan akhirnya kami menumpang pesawat AirAsia Japan dari bandara Shin Chitose menuju Narita. Di bandara suasananya juga chaos dengan penumpang yang overload.

Seminggu di Hokkaido sebenernya belum puas. Kemaren tidak sempat ke Shiretoko di paling timur Hokkaido. Juga kita juga ingin mengunjungi Wakkanai, poin paling utara di Jepang, yang sedikit lagi nyebrang bisa sampai ke Rusia (kalau punya visa).

Monday, February 25, 2013

Liburan musim dingin ke Nagano



Sebenarnya kalau sudah memasuki musim dingin jadi malas kemana-mana, terutama buat manusia tropis seperti saya. Walaupun musim dingin di Tokyo jarang saljunya, tapi dinginnya nggak kalah sama wilayah Jepang lainnya. Plus anginnya yang wuzz wuzz! Sudah pakai heat tech dan jaket sekian lapis juga tetap menggigil. Dan saya jadi kebiasaan menyetok kairo di saku jaket (pemanas sekali pakai) atau ditempel di telapak kaki.

Jarangnya turun salju di Tokyo ini juga bikin saya agak sebal. Masa hanya kebagian dinginnya aja. Salju dong, salju! Biar pemandangannya kayak di film-film gitu. Hampir tiga bulan musim dingin, baru sekali salju turun di Tokyo di pertengahan Januari kemarin. Saljunya cukup parah dan membuat repot semua orang. Sepertinya warga Tokyo memang punya ‘love-hate relationship’ dengan salju. Sumringah kalau salju datang, tapi benci dengan efeknya yang bikin semua orang jadi susah ngapa-ngapain. Banyak kereta yang nggak jalan, mobil yang tergelincir, atau jalan kaki jadi gampang terpeleset.
Saat hujan salju, di jalan depan apato


Tapi sayangnya, waktu badai salju ini suami sedang tidak di Tokyo. Dia cuma bisa lihat sisa-sisa salju di pinggir jalan seminggu setelahnya. Agak kecewa sih, tapi ya nggak kecewa-kecewa banget karena kita sudah merencanakan perjalanan singkat ke Nagano, daerah pegunungan sekitar 220 km ke utara, dimana kita bisa liat salju sepuasnya di sana.

Tujuan utama kita ke Nagano adalah melihat monyet salju yang suka berendam di kolam air panas. Dulu pernah baca artikelnya di majalah National Geographic, lupa entah edisi kapan. Di seluruh dunia, hanya monyet-monyet di Jepang yang suka berendam di kolam air panas (onsen). Sepertinya didukung oleh kondisi geografis Jepang punya banyak gunung api dan sumber air panas alami. Mungkin nenek moyangnya monyet disini pernah yang coba berendam, keenakan, dan jadi keterusan sampai sekarang.



Monyet berendam di Jigokudani Yaen-koen

Lokasi monyet onsen ini namanya Jigokudani Yaen-koen, atau Jigokudani Monkey Park. Jigokudani sendiri artinya lembah neraka, karena situasinya menurut orang-orang sini seperti neraka: curam dan banyak sumber air panasnya. Untuk mencapainya, dari stasiun Tokyo kita berdua naik Asama Shinkansen menuju Nagano (7770 yen, perjalanan 100 menit). Tiket shinkansen kita beli on the spot, tanpa reserve seat. Untuk menjamin dapat seat yang nyaman, kita udah antri di line gerbong unreserved sebelum keretanya datang. Untung juga kereta ini stasiun awalnya di Tokyo, jadi kemungkinan untuk dapat tempat duduk lebih besar. Sedangkan kalau saja kita naik dari stasiun Ueno, kayaknya tempat duduk sudah penuh. Bahkan di stasiun pemberhentian berikutnya seperti Takasaki, masih banyak penumpang yang naik dan berdiri karena tidak kebagian tempat duduk lagi.

Sampai di stasiun Nagano, kita ganti kereta ekspres Nagano Dentetsu menuju Yudanaka (1130 yen, 74 menit). Kereta ekspres ini masinisnya tidak ada di depan atau dibelakang, tapi di bagian tengah kereta. Sedangkan dibagian depan dan belakang jendelanya didesain agar penumpang dapat menikmati pemandangan secara maksimal. Sepertinya kereta ini ditujukan untuk turis yang mengunjungi Yudanaka yang punya banyak objek wisata. Tidak hanya monkey park, tapi juga Yamanouchi-machi dan Shibu onsen yang terkenal dengan wisata onsen dari zaman dulu. Dan disini juga ada ski resort terbesar se-Jepang, yaitu Shiga Kogen yang pernah digunakan dalam olimpiade musim dingin tahun 1998.

Poster olimpiade musim dingin 1998, stasiun Nagano

Begitu sampai di stasiun Yudanaka kita berdua jalan kaki menuju ryokan (hotel tradisional Jepang), yaitu Shimaya ryokan yang jaraknya sekitar 400 meter dari stasiun. Ryokan ini dipilih karena harganya yang relatif murah dibanding ryokan sejenis, dan dapat review yang bagus di tripadvisor (14000 yen, tatami room untuk 2 orang dengan private bathroom). Pemiliknya Yumoto-san mengurus sendiri ryokan ini bersama istrinya. Bapak ini selalu sibuk kemana-mana mengantar tamu, walaupun tidak diminta oleh tamu tersebut. Tiap ada yang terlihat mau keluar dari ryokan, langsung ditanya, “Where are you going? I will take you!” Bahasa Inggrisnya lumayan lancar untuk standar orang Jepang.

Shimaya ryokan, Japanese style sroom

Setelah menaruh tas, saya dan suami langsung menuju monkey park, tentu saja diantar oleh Yumoto-san. Bapak ini sudah seperti sopir pribadi untuk setiap tamu yang menginap di ryokan nya. Seru sih, walaupun kadang kita jadi terburu-buru karena tugas dia selanjutnya (mengantar tamu lain tentunya) sudah menunggu.

Ternyata lokasi monkey park cukup jauh dari ryokan. Dari stasiun Yudanaka sebenarnya ada bus, tetapi jadwalnya hanya 1 atau 2 bus tiap jam. Untung banget deh dianterin sama Yumoto-san. Kita diantar sampai gerbang monkey park, dan melanjutkan perjalan dengan jalan kaki sejauh 1,6 km. Jalannya berupa jalan setapak melewati hutan pinus. Di kiri kanan penuh salju. Kebetulan hari itu salju turun walaupun tidak deras.

Di depan gerbang menuju monkey park


Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke lokasi kolam onsen yang diisi oleh monyet-monyet berendam. Sesampainya di lokasi, orang-orang sudah banyak yang berdiri mengelilingi kolam air panas yang penuh dengan para monyet yang berendam. Pengunjung sibuk memotret para monyet. Anehnya, monyet-monyet ini seperti tidak peduli dengan banyaknya manusia. Mereka cuek dan lanjut berendam dengan nikmatnya. Mau disorot sedekat apapun dengan kamera mereka tidak peduli.

Monkey onsen dan fotografer


Karena cuaca yang super duper dingin, setelah sekitar 45 menit, saya protes supaya suami menyudahi sesi pemotretannya. Kita balik jalan kaki ke gerbang untuk makan tempura soba. Nikmat banget rasanya lagi kedinginan begini makan tempura soba yang hangat. Lalu tak lama Yumoto-san menjemput dengan mobilnya untuk kembali ke ryokan.

Ke Yudanaka kurang sreg rasanya kalau tidak mencoba berendam di salah satu kolam air panasnya, atau onsen. Disini onsen tidak hanya untuk monyet, tapi juga untuk manusia. Konon sejak zaman samurai dulu, daerah ini sudah terkenal jadi tujuan wisata onsen. Tempat onsen yang ada sekarang ini banyak diantaranya yang sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Oya, berendam di onsen ala jepang semua pengunjung wajib bugil 100%. Berhubung suami ogah berbugil ria dengan orang asing, Yumoto-san merekomendasikan tempat onsen outdoor yang punya kolam privat. Dan lagi-lagi diantar sendiri oleh si Bapak. Sungguh pengalaman onsen ini tiada duanya deh. Kolamnya outdoor, di tempat tinggi seperti diatas tebing, jadi kita bisa menikmati pemandangan pedesaan ke bawah sambil berendam dan kena hujan salju. Kita pesan onsen ini selama 50 menit seharga 2500 yen buat berdua. Tidak begitu mahal juga, karena untuk onsen umum, perorang bayar 1000 yen. Pada saat di jemput oleh Yumoto-san, kita minta diturunkan di warung sushi tak jauh dari ryokan untuk makan malam.

Private outdoor onsen

Hari kedua di Yudanaka. Dimulai dengan sarapan ala Jepang di restoran ryokan. Sarapan ini tidak termasuk di biaya kamar, jadi perorang kita harus bayar 1200 yen. Atau bisa lebih murah kalau pesan western breakfast dengan menu roti-rotian. Sarapan ala Jepang memang khas banget. Menunya beragam dengan porsi kecil-kecil. Mulai dari nasi, ikan, sup miso, acar, buah, dll. Kenyang banget.

Selanjutnya kita berdua tidak punya rencana khusus. Hanya mau keliling menikmati pemandangan kota. Yumoto-san mengantar kami ke Shibu-onsen, tak jauh dari ryokan, dimana juga banyak terdapat onsen. Disini suasanya lebih eksotik. Ada puluhan onsen yang bersebelahan satu sama lain, dihubungkan oleh jalan-jalan kecil. Tamu yang menginap di daerah ini umumnya suka onsen hopping, atau berendam dari satu onsen ke onsen lainnya. Saya dan suami hanya berkeliling, mengambil foto, dan mampir di beberapa toko yang menjual kue-kue manis ala jepang atau wagashi.

Shibu-onsen


Dari shibu onsen, kita mampir ke kuil yang ada patung besarnya. Entah ini patung apa, sepertinya kannon atau di Indonesia dikenal dengan nama dewi kwan im. Setelah foto-foto dan membuat kehebohan dengan membunyikan lonceng besar disana, kita berdua balik ke ryokan dengan jalan kaki.

Liburan singkat yang mengesankan. Mudah-mudahan bisa balik kesini saat musim gugur nanti untuk menikmati musim panen apel, karena waktu keliling kota dan sepanjang perjalanan kita banyak sekali melihat perkebunan apel. Dan tentu saja mencoba lagi private onsen outdoor yang sangat nikmat itu.

Ini video perjalanan ke Nagano kemarin, yang diupload di Youtube.