Lagi-lagi saya tidak bisa rutin menulis di blog ini.
Ternyata jadi mahasiswa doktor itu sangat menguras tenaga dan pikiran,
sampai-sampai untuk mengupdate blog ini ini pun tidak sempat. Kalau ada waktu
luang, saya lebih memilih untuk bermalasan di apato. Kadang saya dan hubby juga
memasak. Dan ternyata memasak makanan favorit, apalagi memasak berdua lebih
bisa melepaskan stress daripada menulis blog.
Saat weekend kita berdua masih menyempatkan diri jalan-jalan
menikmati kota Tokyo. Terutama saat musim gugur, Tokyo sedang cantik-cantiknya
dengan warna daun ginko yang menguning, dan daun momiji yang merah menyala.
Tahun ini kita menikmati pemandangan musim gugur dengan
menyusuri Tokyo menggunakan sepeda dari satu taman ke taman lainnya. Sebenarnya
tidak harus ke taman, pemandangan sepanjang jalan pun sudah sangat cantik.
Banyak ruas jalan di Tokyo yang ditanami pohon ginko, yang daunnya dijadikan
lambang kota Tokyo.
Pohon ginko yang menguning banyak terlihat di pinggir jalan
Ada dua taman terfavorit yang kita kunjungi saat musim gugur
tahun ini. Yang pertama: Kitanomaru koen. Lokasinya di sebelah utara imperial
palace. Dari apato, saya hanya perlu menggowes sekitar 20 menit. Taman ini
punya satu lokasi yang penuh dengan pohon momiji. Jadi, saat musim gugur, satu
bagian taman itu merah menyala. Enaknya di sini orang tidak begitu ramai. Masuknya
juga gratis. Komplit deh, makanya jadi taman terfavorit
2013.
Momiji di Kitanomaru Koen
Taman kedua, masih gratis juga masuknya, adalah Yoyogi koen.
Lokasinya dekat dengan Harajuku. Sejak pertama ke Tokyo saya sudah pernah ke
sini, yang tujuannya ke Jinja Meiji Jingu yang termasuk Jinja (kuil agama
Shinto) terbesar di Tokyo. Tapi baru tahun ini saya masuk ke bagian lain dari
taman, yang banyak sekali ditanami pohon momiji dan ginko, dan membuat taman
ini sangat cantik di musim gugur. Yoyogi koen lebih ramai dan luas. Sering
dijadikan tempat ngumpul dan piknik oleh banyak orang. Yang nongkrong sambil main
musik juga banyak. Kalau dari apato saya lumayan jauh, jaraknya sekitar 8 km,
jadi kita harus menggowes ke sana sekitar 1 jam.
Yoyogi Koen
Saya juga sempat ke Nikko bersama teman. Tujuannya ingin
melihat pemandangan perbukitan yang berwarna kuning merah di sekitar danau
Chuzenji, salah satu spot musim gugur yang terkenal cantik di Nikko. Bukannya bisa
menikmati pemandangan, kita malah terjebak macet 4 jam di dalam bus yang
menghubungkan stasiun Nikko dan danau Chuzenji. Masih untung kita sempat naik
ropeway dan melihat pemandangan Nikko dari atas bukit. Setelah itu, kami
buru-buru pulang untuk mengejar kereta ekspres terakhir, sampai memutuskan
jalan kaki karena bus yang ditunggu masih terjebak macet. Dan ternyata kereta
express sudah full booked. Terpaksa harus menerima nasib naik kereta lokal
kembali ke Tokyo. Yah sudahlah, memang beginilah kalau sedang puncak musim
gugur. Apalagi saat itu sedang long weekend juga.
Ropeway di Chuzenji Lake, Nikko
Sebenarnya tahun ini saya sendiri ingin ke Kyoto juga,
meihat cantiknya musim gugur di sana. Tetapi karena pengalaman di Nikko
kemarin, saya sudah kapok. Kapok untuk pergi ke tempat yang sudah terkenal
bagus, karena semua orang pasti ingin kesana pada saat musimnya.
Banyak yang bilang kalau orang Jepang terlalu berlebihan
dalam merayakan setiap musim. Contohnya ya musim gugur ini. Semua orang ingin
liat momiji. Pas musim semi, semuanya ingin hanami di bawah pohon sakura.
Sedangkan kalau musim panas, orang berbondong ingin menonton pertunjukan
kembang api.
Atau, bisa jadi juga karena penduduk Jepang yang sangat
padat, terutama di Tokyo. Jadi setiap ada event, sepertinya semua penduduk kota
tumpah ruah di sana. Padahal sebenarnya nggak juga. Tapi, hanya dengan
sepersekian dari penduduk kota yang datang, sudah membuat tempat acara itu
penuh sesak.
Tapi memang ya, setiap musim di Jepang ini memang cantik,
dengan kekhasannya masing-masing. Sekarang ini musim gugur sudah mau habis. Pohon-pohon
yang tadinya warna warni sudah mulai gundul Udara makindingin, dan saya jadi makin malas
kemana-mana.
Selamat datang musim dingin. Sepertinya sudah saatnya untuk
merencanakan ski trip ke Nagano J
Ini blog sudah berbulan-bulan terbengkalai. Postingan
terakhir tentang trip ke Nagano di musim dingin. Dan sekarang sudah musim panas
aja.
Setelah dari Nagano sebenarnya saya dan hubby sempat
jalan-jalan ke beberapa tempat selama musim semi. Terutama untuk melihat bunga sakura.
Tapi ya begitulah, nggak sempat ditulisin. Sok sibuk :P
Musim panas ini saya dapat jatah liburan yang lumayan lama.
Kesempatan ini kami gunakan untuk merencanakan liburan selama seminggu ke
tempat yang agak jauh, yaitu ke Hokkaido, tempat liburan favorit saya di
Jepang.
Karena bersamaan dengan liburan Obon, saatnya orang Jepang
mudik ke kampung halaman, perjalanan ini jadi agak ribet persiapannya. Tiket
kereta banyak yg sudah sold out. Hotel juga penuh. Untung hotel untuk empat
hari pertama sudah saya cicil pesan via booking.com (sejauh ini jadi website
favorit untuk pemesanan hotel). Sedangkan 3 hari berikutnya baru diputuskan
beberapa hari sebelum berangkat. Ya terima nasib selama 2 malam menginap di
pension sederhana yang harganya sudah mahal. Sedangkan untuk malam terakhir
kami berdua menginap di camping ground, pengalaman yang seru banget. Detailnya
akan saya ceritakan di postingan terpisah.
Secara umum perjalanan kami dari Tokyo, saya dan hubby
berangkat ke Hokkaido menggunakan shinkansen (bullet train) menuju Shin-Aomori.
Lalu menyeberang ke Hokkaido dengan kereta Super Hakucho yang melewati
terowongan bawah laut Seikan Tunnel menuju Hakodate. Menginap semalam di
Hakodate, trus lanjut ke Otaru, berikutnya ke Sapporo, Biei, dan terakhir
Furano.
Untuk transportasi selama di Hokkaido kita berdua
menggunakan kereta, yang jadwalnya sangat jarang dibandingkan dengan jadwal
kereta di Tokyo. Sempat berencana menyewa mobil supaya perjalanan lebih nyaman
dan fleksibel. Tapi gara2 hubby gagal ujian SIM seminggu sebelum berangkat.
Jadi terpaksa deh pakai kereta.
Kereta lokal di Ikutora
Tapi sepertinya gagal ujian
SIM ini jadi berkah juga, karena kita jadi punya pengalaman menikmati
bermacam kereta di Hokkaido. Mulai dari super express yang nyaman mirip
shinkansen, sampai kereta lokal yang gerbongnya cuma satu, dan masinis kereta
sekalian jadi petugas tiket. Stasiun kereta juga nggak semuanya ada petugasnya.
Dan lokasinya pun ada ditengah persawahan.
Dari semua tempat yang kita kunjungi di Hokkaido kemaren,
Biei dan Furano jadi tempat favorit saya. Otaru juga bagus banget sebagai kota
pelabuhan dengan kanalnya yang cantik. Di Sapporo lebih untuk istirahat dan
makan, karena hotelnya lebih murah di banding tempat lain di Hokkaido.
Sedangkan di Biei kita keliling menggunakan sepeda sewaan menikmati pemandangan
alam yg cantiknya kebangetan seperti di lukisan. Lalu yang terakhir di Furano,
tepatnya di Minami Furano (Furano Selatan) saya dan hubby sempat mencoba
rafting di sungai yang super jernih, lalu leyeh-leyeh sambil menikmati pemandangan
di camping ground di pinggir danau Kanayama.
Biei and Furano: the most beautiful villages in Japan
Perjalanan kembali ke Tokyo sempat jadi masalah karena
bersamaan dengan arus balik liburan Obon. Jangankan kereta, kapal pun semua
tiketnya sudah penuh. Dan akhirnya kami menumpang pesawat AirAsia Japan dari
bandara Shin Chitose menuju Narita. Di bandara suasananya juga chaos dengan
penumpang yang overload.
Seminggu di Hokkaido sebenernya belum puas. Kemaren tidak
sempat ke Shiretoko di paling timur Hokkaido. Juga kita juga ingin mengunjungi
Wakkanai, poin paling utara di Jepang, yang sedikit lagi nyebrang bisa sampai
ke Rusia (kalau punya visa).
Sebenarnya
kalau sudah memasuki musim dingin jadi malas kemana-mana, terutama buat manusia
tropis seperti saya. Walaupun musim dingin di Tokyo jarang saljunya, tapi
dinginnya nggak kalah sama wilayah Jepang lainnya. Plus anginnya yang wuzz
wuzz! Sudah pakai heat tech dan jaket
sekian lapis juga tetap menggigil. Dan saya jadi kebiasaan menyetok kairo di saku jaket (pemanas sekali
pakai) atau ditempel di telapak kaki.
Jarangnya
turun salju di Tokyo ini juga bikin saya agak sebal. Masa hanya kebagian
dinginnya aja. Salju dong, salju! Biar pemandangannya kayak di film-film gitu.
Hampir tiga bulan musim dingin, baru sekali salju turun di Tokyo di pertengahan
Januari kemarin. Saljunya cukup parah dan membuat repot semua orang. Sepertinya
warga Tokyo memang punya ‘love-hate
relationship’ dengan salju. Sumringah kalau salju datang, tapi benci dengan
efeknya yang bikin semua orang jadi susah ngapa-ngapain. Banyak kereta yang
nggak jalan, mobil yang tergelincir, atau jalan kaki jadi gampang terpeleset.
Saat hujan salju, di jalan depan apato
Tapi
sayangnya, waktu badai salju ini suami sedang tidak di Tokyo. Dia cuma bisa lihat
sisa-sisa salju di pinggir jalan seminggu setelahnya. Agak kecewa sih, tapi ya
nggak kecewa-kecewa banget karena kita sudah merencanakan perjalanan singkat ke
Nagano, daerah pegunungan sekitar 220 km ke utara, dimana kita bisa liat salju
sepuasnya di sana.
Tujuan
utama kita ke Nagano adalah melihat monyet salju yang suka berendam di kolam
air panas. Dulu pernah baca artikelnya di majalah National Geographic, lupa
entah edisi kapan. Di seluruh dunia, hanya monyet-monyet di Jepang yang suka
berendam di kolam air panas (onsen). Sepertinya didukung oleh kondisi geografis
Jepang punya banyak gunung api dan sumber air panas alami. Mungkin nenek
moyangnya monyet disini pernah yang coba berendam, keenakan, dan jadi keterusan
sampai sekarang.
Monyet berendam di Jigokudani Yaen-koen
Lokasi
monyet onsen ini namanya Jigokudani Yaen-koen, atau Jigokudani Monkey Park.
Jigokudani sendiri artinya lembah neraka, karena situasinya menurut orang-orang
sini seperti neraka: curam dan banyak sumber air panasnya. Untuk mencapainya,
dari stasiun Tokyo kita berdua naik Asama Shinkansen menuju Nagano (7770 yen,
perjalanan 100 menit). Tiket shinkansen kita beli on the spot, tanpa reserve
seat. Untuk menjamin dapat seat yang nyaman, kita udah antri di line gerbong
unreserved sebelum keretanya datang. Untung juga kereta ini stasiun awalnya di
Tokyo, jadi kemungkinan untuk dapat tempat duduk lebih besar. Sedangkan kalau
saja kita naik dari stasiun Ueno, kayaknya tempat duduk sudah penuh. Bahkan di
stasiun pemberhentian berikutnya seperti Takasaki, masih banyak penumpang yang
naik dan berdiri karena tidak kebagian tempat duduk lagi.
Sampai
di stasiun Nagano, kita ganti kereta ekspres Nagano Dentetsu menuju Yudanaka
(1130 yen, 74 menit). Kereta ekspres ini masinisnya tidak ada di depan atau
dibelakang, tapi di bagian tengah kereta. Sedangkan dibagian depan dan belakang
jendelanya didesain agar penumpang dapat menikmati pemandangan secara maksimal.
Sepertinya kereta ini ditujukan untuk turis yang mengunjungi Yudanaka yang
punya banyak objek wisata. Tidak hanya monkey park, tapi juga Yamanouchi-machi
dan Shibu onsen yang terkenal dengan wisata onsen dari zaman dulu. Dan disini
juga ada ski resort terbesar se-Jepang, yaitu Shiga Kogen yang pernah digunakan
dalam olimpiade musim dingin tahun 1998.
Poster olimpiade musim dingin 1998, stasiun Nagano
Begitu
sampai di stasiun Yudanaka kita berdua jalan kaki menuju ryokan (hotel
tradisional Jepang), yaitu Shimaya ryokan yang jaraknya sekitar 400 meter dari
stasiun. Ryokan ini dipilih karena harganya yang relatif murah dibanding ryokan
sejenis, dan dapat review yang bagus di tripadvisor (14000 yen, tatami room
untuk 2 orang dengan private bathroom). Pemiliknya Yumoto-san mengurus sendiri
ryokan ini bersama istrinya. Bapak ini selalu sibuk kemana-mana mengantar tamu,
walaupun tidak diminta oleh tamu tersebut. Tiap ada yang terlihat mau keluar
dari ryokan, langsung ditanya, “Where are you going? I will take you!” Bahasa
Inggrisnya lumayan lancar untuk standar orang Jepang.
Shimaya ryokan, Japanese style sroom
Setelah
menaruh tas, saya dan suami langsung menuju monkey park, tentu saja diantar
oleh Yumoto-san. Bapak ini sudah seperti sopir pribadi untuk setiap tamu yang
menginap di ryokan nya. Seru sih, walaupun kadang kita jadi terburu-buru karena
tugas dia selanjutnya (mengantar tamu lain tentunya) sudah menunggu.
Ternyata
lokasi monkey park cukup jauh dari ryokan. Dari stasiun Yudanaka sebenarnya ada
bus, tetapi jadwalnya hanya 1 atau 2 bus tiap jam. Untung banget deh dianterin
sama Yumoto-san. Kita diantar sampai gerbang monkey park, dan melanjutkan
perjalan dengan jalan kaki sejauh 1,6 km. Jalannya berupa jalan setapak
melewati hutan pinus. Di kiri kanan penuh salju. Kebetulan hari itu salju turun
walaupun tidak deras.
Di depan gerbang menuju monkey park
Butuh
waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke lokasi kolam onsen yang diisi oleh
monyet-monyet berendam. Sesampainya di lokasi, orang-orang sudah banyak yang
berdiri mengelilingi kolam air panas yang penuh dengan para monyet yang
berendam. Pengunjung sibuk memotret para monyet. Anehnya, monyet-monyet ini
seperti tidak peduli dengan banyaknya manusia. Mereka cuek dan lanjut berendam
dengan nikmatnya. Mau disorot sedekat apapun dengan kamera mereka tidak peduli.
Monkey onsen dan fotografer
Karena
cuaca yang super duper dingin, setelah sekitar 45 menit, saya protes supaya
suami menyudahi sesi pemotretannya. Kita balik jalan kaki ke gerbang untuk
makan tempura soba. Nikmat banget rasanya lagi kedinginan begini makan tempura
soba yang hangat. Lalu tak lama Yumoto-san menjemput dengan mobilnya untuk
kembali ke ryokan.
Ke
Yudanaka kurang sreg rasanya kalau tidak mencoba berendam di salah satu kolam
air panasnya, atau onsen. Disini onsen tidak hanya untuk monyet, tapi juga
untuk manusia. Konon sejak zaman samurai dulu, daerah ini sudah terkenal jadi
tujuan wisata onsen. Tempat onsen yang ada sekarang ini banyak diantaranya yang
sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Oya, berendam di onsen ala jepang
semua pengunjung wajib bugil 100%. Berhubung suami ogah berbugil ria dengan
orang asing, Yumoto-san merekomendasikan tempat onsen outdoor yang punya kolam
privat. Dan lagi-lagi diantar sendiri oleh si Bapak. Sungguh pengalaman onsen
ini tiada duanya deh. Kolamnya outdoor, di tempat tinggi seperti diatas tebing,
jadi kita bisa menikmati pemandangan pedesaan ke bawah sambil berendam dan kena
hujan salju. Kita pesan onsen ini selama 50 menit seharga 2500 yen buat berdua.
Tidak begitu mahal juga, karena untuk onsen umum, perorang bayar 1000 yen. Pada
saat di jemput oleh Yumoto-san, kita minta diturunkan di warung sushi tak jauh
dari ryokan untuk makan malam.
Private outdoor onsen
Hari
kedua di Yudanaka. Dimulai dengan sarapan ala Jepang di restoran ryokan.
Sarapan ini tidak termasuk di biaya kamar, jadi perorang kita harus bayar 1200
yen. Atau bisa lebih murah kalau pesan western breakfast dengan menu
roti-rotian. Sarapan ala Jepang memang khas banget. Menunya beragam dengan
porsi kecil-kecil. Mulai dari nasi, ikan, sup miso, acar, buah, dll. Kenyang
banget.
Selanjutnya
kita berdua tidak punya rencana khusus. Hanya mau keliling menikmati
pemandangan kota. Yumoto-san mengantar kami ke Shibu-onsen, tak jauh dari
ryokan, dimana juga banyak terdapat onsen. Disini suasanya lebih eksotik. Ada
puluhan onsen yang bersebelahan satu sama lain, dihubungkan oleh jalan-jalan
kecil. Tamu yang menginap di daerah ini umumnya suka onsen hopping, atau
berendam dari satu onsen ke onsen lainnya. Saya dan suami hanya berkeliling,
mengambil foto, dan mampir di beberapa toko yang menjual kue-kue manis ala
jepang atau wagashi.
Shibu-onsen
Dari
shibu onsen, kita mampir ke kuil yang ada patung besarnya. Entah ini patung
apa, sepertinya kannon atau di Indonesia dikenal dengan nama dewi kwan im.
Setelah foto-foto dan membuat kehebohan dengan membunyikan lonceng besar
disana, kita berdua balik ke ryokan dengan jalan kaki.
Liburan singkat yang
mengesankan. Mudah-mudahan bisa balik kesini saat musim gugur nanti untuk
menikmati musim panen apel, karena waktu keliling kota dan sepanjang perjalanan
kita banyak sekali melihat perkebunan apel. Dan tentu saja mencoba lagi private
onsen outdoor yang sangat nikmat itu.
Ini video perjalanan ke Nagano kemarin, yang diupload di Youtube.